Jumat, 28 Desember 2012

Mimpi: Pengabdian di Tanah Perbatasan

"Dua satu..."
"Dua dua..."
"Dua tiga..."
23 nyala lilin dari lampu tembaga kuno di sepanjang Rumah Betang ini akhirnya sudah saya tiup padam. Sejenak suasana riuh dalam Rumah Betang menjadi hening dan gelap karena tidak ada lagi lilin yang menyala. Tanpa saya sadari air mata menetes dari tepi mata. Saya terharu. Saya menangis dan tersenyum di waktu yang sama, baru kali ini saya rasakan bahagia di tempat yang asing dimana orang-orang lokalnya menerima saya sebagai keluarga. Terima kasih, Dayak Iban...
Make A Wish
Tiup lilin, perayaan ulang tahun di Dayak Iban (photo by Rey - NatGeo Indonesia)
***
Be bright in the dark place, give benefits to the others. And when the time has come, I wanna be the brightest one in the bright place.
Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa motto hidup saya di atas akan mengantarkan saya menemukan mimpi saya. Mimpi yang harus saya wujudkan sesegera mungkin. Mengabdi untuk bangsa.
Saya seorang yang realistik. Saya tidak pernah menganggap keinginan saya sebagai mimpi. Saya tidak pernah percaya mimpi. Bagi saya, mimpi yang selama ini orang-orang sebut sebagai mimpi itu hanyalah keinginan, hanyalah khayalan yang ingin mereka wujudkan. Mimpi hanyalah bunga tidur, dan target adalah hal yang harus kita capai. Itu pemikiran saya (dulu)... sampai suatu ketika, salah satu resolusi saya di tahun 2012 tercapai; Menjejakkan kaki di daerah pedalaman di Indonesia.
November 2012
Saya baru saja kehilangan kesempatan untuk berangkat ke Hong Kong, kejutan yang sedikit mengecewakan tepat satu hari sebelum keberangkatan ke Hong Kong. Kecewa sudah pasti, apalagi pembatalan ini baru dikonfirmasikan sehari sebelum keberangkatan dan pembatalan itu dilakukan setelah saya menyiapkan segalanya serba mendadak. Pada akhirnya saya harus ikhlas, that's it. Walaupun setelahnya, melihat liputan, rubrik, artikel di berbagai majalah selalu saja ada yang membahas tentang Hong Kong. Please, I do really want to forget it.
Bonus dari terwujudnya resolusi di tahun 2012 ini~
Tuhan memberikan jawaban yang begitu cepat, suatu siang saya menerima telepon dari nomor tak dikenal dan singkat cerita, saya melewati beberapa tahap seleksi untuk memenangkan perjalanan berpetualang ke pedalaman di Indonesia. Mengingat ini menjadi salah satu resolusi yang sudah saya targetkan di tahun 2012, saya harus berusaha mengejarnya semaksimal mungkin. HARUS!
Sampailah saya disini, dimana satu dari sekian banyak resolusi saya tahun ini berhasil saya coret dari list. Saya berangkat ke pedalaman di Indonesia, tepatnya pedalaman Kalimantan Barat. Bukan hanya menjejakkan kaki, saya pun berkesempatan untuk merasakan kehidupan pedalaman disana, bersama Suku Dayak Iban, Sungai (Sui) Utik, menjelajahi hutan dan sungai bersama salah satu aktor papan atas Indonesia, Nicholas Saputra :D well, it's not about Nicholas Saputra or won this trip, more than that, finally I found my dream. Dream, something that people talked about.
***
Akhir November 2012
Mencapai pedalaman Indonesia, di pulau manapun itu memang akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang lebih. Bahkan beberapa sumber menyebutkan biaya untuk menikmati eksotisme alam pedalaman Indonesia setara atau bahkan lebih mahal daripada jalan-jalan ke Eropa. Mungkin ini juga yang menyebabkan minimnya minat anak muda untuk travel ke pedalaman dalam negeri, di samping prasarana dan akses untuk mencapai pedalaman yang masih sangat-sangat-sangat terbatas. Tapi besarnya biaya dan hal-hal yang dikorbankan dijamin akan terbayarkan begitu melihat pesona pedalaman Indonesia. Jadi tidak heran bule-bule paruh baya sampai tua rela jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk bisa mencapai pedalaman di Indonesia.
Dari Jakarta, saya dan rombongan menuju ke Pontianak, dari Pontianak kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan pesawat perintis. Ini merupakan pengalaman pertama saya naik pesawat perintis. Benar-benar excited, karena semuanya serba mendebarkan. Penasaran dengan penampakan Borneo dari ketinggian, sesekali saya mengintip dari jendela. Sayang sekali, pemandangan hijau pekat dan lebat yang saya bayangkan sebelumnya tidak bisa saya lihat. Awan terlalu tebal, namun sesekali saya bisa mengintip dari celah awan, banyak hutan yang dibuka untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit. Memang benar kelapa sawit turut menyumbang devisa yang cukup banyak untuk negara, namun dengan mengorbankan hutan seluas itu? Belum lagi kasus pembantaian satwa asli hutan Kalimantan karena pembukaan lahan ini, contohnya Orang Utan. Saya salah satu yang paling menentang hal itu, bahkan beberapa kali, saya dan teman saya melalui akun twitter kami menyerukan stop pembantaian Orang Utan dengan hash tag " #saveorangutan ". Semoga pemerintah setempat lebih memperhatikan masalah ini dan segera mengambil tindakan tegas.
Sampai di Bandar Udara Putussibau, kami melanjutkan perjalanan menuju Sui Utik dengan mobil. Waktu yang ditempuh dari Putussibau menuju Sui Utik dengan menggunakan mobil sekitar 2,5 jam. Jalan yang menanjak, menurun, dan berkelok-kelok membuat saya sedikit mual. Dengan harapan yang tinggi, saya tidak hentinya berkomat-kamit agar saya tidak menyemburkan isi perut saya dan sebagai hadiahnya bisa melihat eksotisme dari surga Borneo. Amin. Dari kejauhan bisa saya lihat pondok kayu yang dicat biru langit dengan tulisan dalam bahasa setempat yang kira-kira artinya; "Selamat datang di Desa Sungai Utik". Haha semoga tidak salah.
Pakaian khas suku Dayak Iban yang berbeda dari suku Dayak lainnya
Akhirnya, sampai di lokasi yang akan menjadi tempat saya mengenal keluarga baru saya :) begitu turun dari mobil, sekumpulan bocah berpakaian adat lengkap, lengkap dengan tattoo buatan, telah berjejer siap menyambut kami. Saya bisa lihat mereka sangat antusias menyambut kami. Walaupun saat itu matahari sangat terik, namun mereka tetap berdiri, tersenyum, dan tatapan lurus ke depan, sesekali memandang ke arah rombongan kami. Berbeda dari pakaian Suku Dayak yang selama ini kita ketahui, pakaian adat Suku Dayak Iban tidak mengenakan rompi manik-manik, sebaliknya lebih blink-blink dengan mahkota logam dan baju rajutan berwarna cerah.
Begitu melewati jejeran anak-anak Dayak Iban itu, mereka mengiringi perjalanan kami menuju rumah Betang (Rumah Panjang khas Kalimantan) sambil menari mengikuti irama tetabuhan gendang Dayak. Pemandangan sekitar begitu menyejukkan mata, pohon raksasa, hijau segar, langit biru, dan ditambah tarian sambutan dari anak-anak yang lucu. Aaaaah... benar-benar perjalanan surga!
Setelah melihat anak-anak tadi, entah mengapa kisah perjalanan ini tidak lagi terkonsentrasi pada apa yang saya lakukan disana. Anak-anak ini terlalu banyak mencuri perhatian saya. Kisah mereka jauh lebih menyita pikiran saya. Mereka menarik, mereka unik, mereka pasti akan bersinar. Itu yang ada di pikiran saya beberapa saat. Sampai mereka berhenti menari dan kemudian duduk berjejer menghadap para tamu. Yah, namanya juga anak-anak, mereka tidak akan betah berdiam lama menikmati ramah-tamah, pidato dan sambutan formal orang dewasa. Mereka mulai bercanda satu sama lain, menggoda, tertawa, berbisik. Hahaha tergelitik saya untuk mendekati mereka setelah acara ini.
Tawa canda di tengah acara ramah tamah
Lelaki kecil gagah berani yang membengong
Hasil tangkapan berupa ikan kecil
Dari rumah Betang, kami kemudian menuju sungai untuk mencari ikan bersama warga dan anak-anak. Arus sungai cukup deras karena hujan, jadi kami harus bersusah payah untuk melangkah dari satu titik ke titik lain di sungai. Hasil tangkapan akan kami hidangkan sebagai makan malam. Di pedalaman ini kami harus mandiri menyiapkan segalanya, mulai dari makanan, minuman, tempat tidur, dan lain sebagainya. Karenaberada di pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk kegiatan ekonomi dan kehidupan moderen, semuanya harus disiapkan sendiri. Contohnya saja untuk makan, warga biasanya masuk ke hutan dulu untuk berburu. Laki-laki berburu, wanita di ladang, anak-anak sekolah dan membantu orang tuanya, kemudian memasak bersama. Sungguh gambaran kebahagiaan yang sempurna dalam kesederhanaan di pedalaman seperti ini. Ternyata, bahagia itu sederhana... Berkumpul bersama keluarga, makan bersama, tertawa bersama. :')
Malam tiba, kali ini malam di Sui Utik jauh lebih terang karena genzet untuk mengaliri listrik dinyalakan. Genzet hanya dioperasikan ketika ada tamu atau jika ada pertandingan sepak bola yang melibatkan tim nasional Republik Indonesia. Walaupun ada di perbatasan Indonesia-Malaysia, namun ternyata nasionalisme warga Dayak Iban sangat besar, terbukti dari dukungan yang diberikan setiapkali timnas bertanding. Mereka sampai rela menyalakan listrik yang biasanya hanya dinyalakan ketika ada acara besar atau tamu. Keberadaannya yang masuk ke tengah hutan membuat malam di Sui Utik terasa begitu cepat datang. Ketika memasuki hutan di siang hari pun terlihat seperti senja hari yang sudah  mulai gelap.
Isu nasionalisme menjadi hal yang cukup sensitif untuk dibicarakan di Sui Utik, mengingat bahwa pemerintah belum memaksimalkan pelayanan dan prasaran publik di daerah perbatasan, tidak hanya di Sui Utik, bahkan hampir di seluruh daerah terluar Indonesia. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Sui Utik mencoba mengadu nasib ke negeri Jiran Malaysia karena lebih mungkin dijangkau daripada kota besar di Kalimantan. Sejak diberlakukannya sistem perbatasan di bawah pengawasan kedua negara, terkadang ada saja masyarakat yang mencoba masuk ke wilayah Malaysia secara ilegal. Jika tertangkap oleh petugas, mereka akan ditahan untuk beberapa lama. Bukannya mereka tidak mencintai Indonesia, hanya saja, untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar, selain jauh, hasil yang didapatpun tidak sebanyak yang didapat di Malaysia. Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, jika tidak, bukan tidak mungkin masyarakat perbatasan secara tidak langsung akan disejahterakan oleh negara tetangga dan pada akhirnya nasionalisme pun luntur.

2 komentar:

  1. Balasan
    1. haha iya doi kan sekarang ini full-time traveler part-time actor, masih bersambung :D Semoga tanggal 2 bisa saya selesaikan :P

      Hapus