"Dua satu..."
"Dua dua..."
"Dua tiga..."
23 nyala lilin dari lampu tembaga kuno di sepanjang Rumah Betang ini akhirnya sudah saya tiup padam. Sejenak suasana riuh dalam Rumah Betang menjadi hening dan gelap karena tidak ada lagi lilin yang menyala. Tanpa saya sadari air mata menetes dari tepi mata. Saya terharu. Saya menangis dan tersenyum di waktu yang sama, baru kali ini saya rasakan bahagia di tempat yang asing dimana orang-orang lokalnya menerima saya sebagai keluarga. Terima kasih, Dayak Iban...
Dari
rumah Betang, kami kemudian menuju sungai untuk mencari ikan bersama
warga dan anak-anak. Arus sungai cukup deras karena hujan, jadi kami
harus bersusah payah untuk melangkah dari satu titik ke titik lain di
sungai. Hasil tangkapan akan kami hidangkan sebagai makan malam. Di
pedalaman ini kami harus mandiri menyiapkan segalanya, mulai dari
makanan, minuman, tempat tidur, dan lain sebagainya. Karenaberada di
pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk kegiatan ekonomi dan kehidupan
moderen, semuanya harus disiapkan sendiri. Contohnya saja untuk makan,
warga biasanya masuk ke hutan dulu untuk berburu. Laki-laki berburu,
wanita di ladang, anak-anak sekolah dan membantu orang tuanya, kemudian
memasak bersama. Sungguh gambaran kebahagiaan yang sempurna dalam
kesederhanaan di pedalaman seperti ini. Ternyata, bahagia itu
sederhana... Berkumpul bersama keluarga, makan bersama, tertawa bersama.
:')
Malam tiba, kali ini malam di Sui Utik jauh lebih terang karena genzet untuk mengaliri listrik dinyalakan. Genzet hanya dioperasikan ketika ada tamu atau jika ada pertandingan sepak bola yang melibatkan tim nasional Republik Indonesia. Walaupun ada di perbatasan Indonesia-Malaysia, namun ternyata nasionalisme warga Dayak Iban sangat besar, terbukti dari dukungan yang diberikan setiapkali timnas bertanding. Mereka sampai rela menyalakan listrik yang biasanya hanya dinyalakan ketika ada acara besar atau tamu. Keberadaannya yang masuk ke tengah hutan membuat malam di Sui Utik terasa begitu cepat datang. Ketika memasuki hutan di siang hari pun terlihat seperti senja hari yang sudah mulai gelap.
Isu nasionalisme menjadi hal yang cukup sensitif untuk dibicarakan di Sui Utik, mengingat bahwa pemerintah belum memaksimalkan pelayanan dan prasaran publik di daerah perbatasan, tidak hanya di Sui Utik, bahkan hampir di seluruh daerah terluar Indonesia. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Sui Utik mencoba mengadu nasib ke negeri Jiran Malaysia karena lebih mungkin dijangkau daripada kota besar di Kalimantan. Sejak diberlakukannya sistem perbatasan di bawah pengawasan kedua negara, terkadang ada saja masyarakat yang mencoba masuk ke wilayah Malaysia secara ilegal. Jika tertangkap oleh petugas, mereka akan ditahan untuk beberapa lama. Bukannya mereka tidak mencintai Indonesia, hanya saja, untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar, selain jauh, hasil yang didapatpun tidak sebanyak yang didapat di Malaysia. Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, jika tidak, bukan tidak mungkin masyarakat perbatasan secara tidak langsung akan disejahterakan oleh negara tetangga dan pada akhirnya nasionalisme pun luntur.
"Dua dua..."
"Dua tiga..."
23 nyala lilin dari lampu tembaga kuno di sepanjang Rumah Betang ini akhirnya sudah saya tiup padam. Sejenak suasana riuh dalam Rumah Betang menjadi hening dan gelap karena tidak ada lagi lilin yang menyala. Tanpa saya sadari air mata menetes dari tepi mata. Saya terharu. Saya menangis dan tersenyum di waktu yang sama, baru kali ini saya rasakan bahagia di tempat yang asing dimana orang-orang lokalnya menerima saya sebagai keluarga. Terima kasih, Dayak Iban...
***
Be bright in the dark place, give benefits to the others. And when the time has come, I wanna be the brightest one in the bright place.
Tidak
pernah terpikir oleh saya bahwa motto hidup saya di atas akan
mengantarkan saya menemukan mimpi saya. Mimpi yang harus saya wujudkan
sesegera mungkin. Mengabdi untuk bangsa.
Saya
seorang yang realistik. Saya tidak pernah menganggap keinginan saya
sebagai mimpi. Saya tidak pernah percaya mimpi. Bagi saya, mimpi yang
selama ini orang-orang sebut sebagai mimpi itu hanyalah keinginan,
hanyalah khayalan yang ingin mereka wujudkan. Mimpi hanyalah bunga
tidur, dan target adalah hal yang harus kita capai. Itu pemikiran saya
(dulu)... sampai suatu ketika, salah satu resolusi saya di tahun 2012
tercapai; Menjejakkan kaki di daerah pedalaman di Indonesia.
November 2012
Saya
baru saja kehilangan kesempatan untuk berangkat ke Hong Kong, kejutan
yang sedikit mengecewakan tepat satu hari sebelum keberangkatan ke Hong
Kong. Kecewa sudah pasti, apalagi pembatalan ini baru dikonfirmasikan
sehari sebelum keberangkatan dan pembatalan itu dilakukan setelah saya
menyiapkan segalanya serba mendadak. Pada akhirnya saya harus ikhlas,
that's it. Walaupun setelahnya, melihat liputan, rubrik, artikel di
berbagai majalah selalu saja ada yang membahas tentang Hong Kong.
Please, I do really want to forget it.
Tuhan
memberikan jawaban yang begitu cepat, suatu siang saya menerima telepon
dari nomor tak dikenal dan singkat cerita, saya melewati beberapa tahap
seleksi untuk memenangkan perjalanan berpetualang ke pedalaman di
Indonesia. Mengingat ini menjadi salah satu resolusi yang sudah saya
targetkan di tahun 2012, saya harus berusaha mengejarnya semaksimal
mungkin. HARUS!
Sampailah
saya disini, dimana satu dari sekian banyak resolusi saya tahun ini
berhasil saya coret dari list. Saya berangkat ke pedalaman di Indonesia,
tepatnya pedalaman Kalimantan Barat. Bukan hanya menjejakkan kaki, saya
pun berkesempatan untuk merasakan kehidupan pedalaman disana, bersama
Suku Dayak Iban, Sungai (Sui) Utik, menjelajahi hutan dan sungai bersama
salah satu aktor papan atas Indonesia, Nicholas Saputra :D well, it's
not about Nicholas Saputra or won this trip, more than that, finally I
found my dream. Dream, something that people talked about.
***
Akhir November 2012
Mencapai
pedalaman Indonesia, di pulau manapun itu memang akan memakan waktu,
biaya dan tenaga yang lebih. Bahkan beberapa sumber menyebutkan biaya
untuk menikmati eksotisme alam pedalaman Indonesia setara atau bahkan
lebih mahal daripada jalan-jalan ke Eropa. Mungkin ini juga yang
menyebabkan minimnya minat anak muda untuk travel ke pedalaman dalam
negeri, di samping prasarana dan akses untuk mencapai pedalaman yang
masih sangat-sangat-sangat terbatas. Tapi besarnya biaya dan hal-hal
yang dikorbankan dijamin akan terbayarkan begitu melihat pesona
pedalaman Indonesia. Jadi tidak heran bule-bule paruh baya sampai tua
rela jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk bisa mencapai pedalaman di
Indonesia.
Dari
Jakarta, saya dan rombongan menuju ke Pontianak, dari Pontianak kami
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan pesawat perintis. Ini
merupakan pengalaman pertama saya naik pesawat perintis. Benar-benar
excited, karena semuanya serba mendebarkan. Penasaran dengan penampakan
Borneo dari ketinggian, sesekali saya mengintip dari jendela. Sayang
sekali, pemandangan hijau pekat dan lebat yang saya bayangkan sebelumnya
tidak bisa saya lihat. Awan terlalu tebal, namun sesekali saya bisa
mengintip dari celah awan, banyak hutan yang dibuka untuk
dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit. Memang benar kelapa
sawit turut menyumbang devisa yang cukup banyak untuk negara, namun
dengan mengorbankan hutan seluas itu? Belum lagi kasus pembantaian satwa
asli hutan Kalimantan karena pembukaan lahan ini, contohnya Orang Utan.
Saya salah satu yang paling menentang hal itu, bahkan beberapa kali,
saya dan teman saya melalui akun twitter kami menyerukan stop
pembantaian Orang Utan dengan hash tag " #saveorangutan ". Semoga
pemerintah setempat lebih memperhatikan masalah ini dan segera mengambil
tindakan tegas.
Sampai
di Bandar Udara Putussibau, kami melanjutkan perjalanan menuju Sui Utik
dengan mobil. Waktu yang ditempuh dari Putussibau menuju Sui Utik
dengan menggunakan mobil sekitar 2,5 jam. Jalan yang menanjak, menurun,
dan berkelok-kelok membuat saya sedikit mual. Dengan harapan yang
tinggi, saya tidak hentinya berkomat-kamit agar saya tidak menyemburkan
isi perut saya dan sebagai hadiahnya bisa melihat eksotisme dari surga
Borneo. Amin. Dari kejauhan bisa saya lihat pondok kayu yang dicat biru
langit dengan tulisan dalam bahasa setempat yang kira-kira artinya;
"Selamat datang di Desa Sungai Utik". Haha semoga tidak salah.
Akhirnya,
sampai di lokasi yang akan menjadi tempat saya mengenal keluarga baru
saya :) begitu turun dari mobil, sekumpulan bocah berpakaian adat
lengkap, lengkap dengan tattoo buatan, telah berjejer siap menyambut
kami. Saya bisa lihat mereka sangat antusias menyambut kami. Walaupun
saat itu matahari sangat terik, namun mereka tetap berdiri, tersenyum,
dan tatapan lurus ke depan, sesekali memandang ke arah rombongan kami.
Berbeda dari pakaian Suku Dayak yang selama ini kita ketahui, pakaian
adat Suku Dayak Iban tidak mengenakan rompi manik-manik, sebaliknya
lebih blink-blink dengan mahkota logam dan baju rajutan berwarna cerah.
Begitu
melewati jejeran anak-anak Dayak Iban itu, mereka mengiringi perjalanan
kami menuju rumah Betang (Rumah Panjang khas Kalimantan) sambil menari
mengikuti irama tetabuhan gendang Dayak. Pemandangan sekitar begitu
menyejukkan mata, pohon raksasa, hijau segar, langit biru, dan ditambah
tarian sambutan dari anak-anak yang lucu. Aaaaah... benar-benar
perjalanan surga!
Setelah
melihat anak-anak tadi, entah mengapa kisah perjalanan ini tidak lagi
terkonsentrasi pada apa yang saya lakukan disana. Anak-anak ini terlalu
banyak mencuri perhatian saya. Kisah mereka jauh lebih menyita pikiran
saya. Mereka menarik, mereka unik, mereka pasti akan bersinar. Itu yang
ada di pikiran saya beberapa saat. Sampai mereka berhenti menari dan
kemudian duduk berjejer menghadap para tamu. Yah, namanya juga
anak-anak, mereka tidak akan betah berdiam lama menikmati ramah-tamah,
pidato dan sambutan formal orang dewasa. Mereka mulai bercanda satu sama
lain, menggoda, tertawa, berbisik. Hahaha tergelitik saya untuk
mendekati mereka setelah acara ini.
Malam tiba, kali ini malam di Sui Utik jauh lebih terang karena genzet untuk mengaliri listrik dinyalakan. Genzet hanya dioperasikan ketika ada tamu atau jika ada pertandingan sepak bola yang melibatkan tim nasional Republik Indonesia. Walaupun ada di perbatasan Indonesia-Malaysia, namun ternyata nasionalisme warga Dayak Iban sangat besar, terbukti dari dukungan yang diberikan setiapkali timnas bertanding. Mereka sampai rela menyalakan listrik yang biasanya hanya dinyalakan ketika ada acara besar atau tamu. Keberadaannya yang masuk ke tengah hutan membuat malam di Sui Utik terasa begitu cepat datang. Ketika memasuki hutan di siang hari pun terlihat seperti senja hari yang sudah mulai gelap.
Isu nasionalisme menjadi hal yang cukup sensitif untuk dibicarakan di Sui Utik, mengingat bahwa pemerintah belum memaksimalkan pelayanan dan prasaran publik di daerah perbatasan, tidak hanya di Sui Utik, bahkan hampir di seluruh daerah terluar Indonesia. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Sui Utik mencoba mengadu nasib ke negeri Jiran Malaysia karena lebih mungkin dijangkau daripada kota besar di Kalimantan. Sejak diberlakukannya sistem perbatasan di bawah pengawasan kedua negara, terkadang ada saja masyarakat yang mencoba masuk ke wilayah Malaysia secara ilegal. Jika tertangkap oleh petugas, mereka akan ditahan untuk beberapa lama. Bukannya mereka tidak mencintai Indonesia, hanya saja, untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar, selain jauh, hasil yang didapatpun tidak sebanyak yang didapat di Malaysia. Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, jika tidak, bukan tidak mungkin masyarakat perbatasan secara tidak langsung akan disejahterakan oleh negara tetangga dan pada akhirnya nasionalisme pun luntur.
ada mas nicholas juga
BalasHapushaha iya doi kan sekarang ini full-time traveler part-time actor, masih bersambung :D Semoga tanggal 2 bisa saya selesaikan :P
Hapus